Dapatkah kita bersatu?
Walau perbedaan itu ada,
Walau ku tahu kita tak mungkin bersama,
Jurang perbedaan itu terlampau jauh,
Dan kini,
Biarlah air mata itu jatuh dan mengalir,
Membasahi pipi dan memenuhi ruang dalam hatiku yang kosong,
Salahkah aku mencintaimu?
Salahkah aku memendam rasa ini?
Entahlah…
Hanya kita dan Tuhan yang mengetahuinya.
+++
Air mataku kembali jatuh, entah untuk keberapa kalinya. Aku tak kuasa membendungnya. Pedih. Itulah yang kini kurasakan. Mengapa ini terjadi kepadaku? Apa memang seorang gadis desa sepertiku tidak pantas mendapatkan cinta? Ah, berfikir apa aku ini? Sudahlah Ag, lupakan dia. Dia berbeda denganmu. Sangat beda. Masih teringat dalam benakku saat pertama kali mengenal dirinya.
“Pernah ada rasa cinta antara kita kini tinggal kenangan…” aku besenandung kecil sembari menaiki sepeda miniku. Hembusan semilir angin membelai wajahku serta menerbangkan rambutku yang tak ku ikat. Aku bersiul-siul kecil, menikmati indahnya alam. Ku lihat ada seorang pemuda yang tinggi putih berlari dari arah yang berlawanan denganku.
CIITT… Aku mengerem sepedaku tepat didepan kakinya. Aku menutup mataku, takut. Tiba-tiba aku merasa ada yang menaki boncengan sepedaku. Aku menoleh,
“Eh,, siapa kamu? Kok main naik aja sih? Apa kita kenal?”
“Ssstt… Gue bonceng lo ya? Tadi gue dikejar-kejar sama orang suruhan bonyok gue. Sekarang jalanin sepedanya sebelum gue dipaksa balik,” perintahnya, aku mengangkat bahu kemudian menjalankan kembali sepedaku. Tak butuh waktu lama, aku dan pemuda itu sampai pada tempat rahasiaku.
“Huah… Seger!” Teriaknya begitu turun dari sepedaku. Aku tersenyum kecil. Ku amati wajahnya, setiap lekukan dari wajahnya sangat mempesona. Dia begitu tampan. Caranya berbicara, tatapan matanya, dan caranya tersenyum benar-benar mempesona. Aku yakin, dia berasal dari kota. Eh, tunggu… Dia berasal dari kota? Kok bisa nyampe sini? Aku berjalan mendekatinya yang telah lebih dulu meninggalkanku.
“Hm… Nama kamu siapa?” Tanyaku membuka keheningan antara kami.
“Gue? Gue Alvin. Alvin Jonathan. Kalau lo?” Alvin, hm… nama yang bagus.
“Agni, Agni Tri Nubuwati.”
“Oh, Agni. Eh, makasih ya boncengannya? Oh ya, mulai sekarang kita berteman ya?” Aku mengangguk.
Begitulah awal mula pertemuan kami, sejak saat itu aku semakin dekat dengannya. Bahkan, orang tuaku bekerja pada orang tua Alvin. Orang tua Alvin begitu baik kepadaku. Entah darimana asalnya, perasaan itu tumbuh. Ada getaran-getaran halus yang melewati hatiku saat bertatapan dengannya. Dan tak kusangka, dia menyatakan cinta padaku. Aku tak menolaknya karena aku juga mencintainya. Walaupun kami harus pacaran secara sembunyi-sembunyi. Mengingat latar belakang kami yang berbeda 180 derajat. Dan belum lagi keyakinan kami yang berbeda. Aku rasa itu ujian bagi cinta kami. Namun ternyata? Aku salah! Ujian terhadap cinta kami tak hanya berhenti sampai disitu. Semuanya datang dan berlalu begitu saja menerpa perjalanan cinta kami, mulai dari : perbedaan keyakinan, perbedaan status social, Alvin yang dijodohkan, dan masih banyak lagi. Apakah cinta kami salah? Aku tahu, aku hanya seorang gadis desa biasa. Tapi, apakah aku tak pantas mendapatkan cinta itu? Hari terus berganti dengan hari lagi. Tibalah saat yang paling aku takutkan. Ya, hari ini adalah hari pertunangan Alvin dengan Nova, Nova Chintya Sinaga. Seorang gadis ayu yang merupakan calon dari orang tua Alvin. Aku ikut membantu dalam acara pertunangan itu. Ya, karena bu Angel, ibunya Alvin begitu mempercayakan hal ini kepadaku. Sekarang, yang bisa kulakukan hanya termenung. Menyesali nasibku yang buruk. Aku menatap langit malam dari jendela kamarku. Aku sengaja tidak ikut merayakan pesta tersebut. Toh, ikut dalam pesta tersebut hanya membuat hatiku semakin sakit. Air mataku kembai mengalir deras. Aku menyekanya perlahan. Aku begitu cengeng, yang sangat bertolak belakang dengan penampilanku yang cuek dan terkesan tomboy. Kutatap langit, aku melihat ada sebuah bintang jatuh. Aku memejamkan mataku, mengucapkan harapanku. Konyol memang.
Semoga aku dan Alvin dapat bersama, itulah harapanku. Aku kembali membuka mata. Menatap cincin yang Alvin berikan kepadaku. Lagi-lagi, air mataku jatuh. Aku memejamkan mataku. Perlahan, kuarasakan sebuah tangan melingkar diperutku. Aku membuka mata dan berbalik.
“Alvin,” Pekikku, bukannya menjawab dia malah meletakkan dagunya ke bahuku. Aku kembali memejamkan mataku. Merasakan sensasi saat Alvin memelukku. Hening, beberapa saat kemudian.
“Ag, aku mau kamu. Bukannya Nova.” Ucapnya lirih.
“Tapi Vin, Nova pilihan orang tua kamu. Itu berarti dia yang terbaik buat kamu, bukan aku.” Dia melepas pelukannya dan menatapku tajam.
“Ini hidup aku, aku yang berhak menentukan. Bukannya mereka.”
“Vin, Pak Mario dan Bu Angel pasti memilih pasangan yang terbaik buat kamu. Lagipula kita berbeda. Aku beribadah di masjid, sedangkan kamu? Kamu beribadah di gereja. Jika ummat agamaku menikah, menggunakan penghulu. Namun agamamu? Melalui seorang pastur. Kita berbeda Vin. Berbeda jauh,”
“Kalau itu masalahnya, okey. Aku bakalan pindah keyakinan. Apapun akan kelakukan demi kamu,” Aku tersentak. Tidak, aku tidak boleh membiarkan Alvin.
“Jangan Vin, agama itu bukan mainan yang dapat dengan seenaknya berpindah-pindah.”
“Tapi aku mau kamu, aku mau kamu Agni. Bukan yang lain…” Aku menempelkan jari telunjukku ke bibir Alvin.
“Ssstt… Walaupun kita tidak bisa bersama, toh kamu tahu kalau hati ini milik kamu.” Dia tersenyum, diraihnya tanganku. Aku merasakan genggamannya begitu erat. Diangkatnya tanganku, kemudian dia mengecup punggung tanganku.
Tok… Tok… Tok…
“Ag… Agni…” Panggil seseorang, yang kuyakini itu ibuku, Ify. Aku segera menyuruh Alvin bersembunyi di balik gorden jendela kamarku. Aku segera merapikan diri. Dengan perlahan aku membuka pintu kamarku. Saat aku membuka pintu kamarku, aku melihat ibuku telah berdiri dengan sebuah senyuman.
“Ada apa bu?”
“Gini loh Ag, ada anaknya teman bapak kamu yang melamar kamu. Dan nggak ada salahnya kita terima. Jadi kami sepakat buat menikahkanmu dengan anak teman bapakmu itu.” Ya Tuhan, apa lagi ini? belum habis masalah yang muncul akibat pertunangan Nova dan Alvin, kini aku kembali dikejutkan dengan adanya rencana pernikahanku dengan orang lain.
“Si… Siapa orangnya bu?”
“Cakka. Cakka Kawekas Nuraga dia anak yang baik lho, makanya bapak dan ibu nerima lamarannya. Yo wis tha nduk, kamu ndang tidur. Besok kita mbalik mara kampung.” Aku kembali menutup pintu kamarku setelah ibu pergi meninggalkanku.Lututku terasa lemas, aku tak sanggup menahan beban tubuhku. Gejolak di hatiku kembali muncul. Apakah ini pertanda kalau aku dan Alvin memang tidak ditakdirkan untuk bersatu?
“Ag... Ag... Ni... ka...mu... NGGAK! AKU NGGAK RELA KAMU NIKAH SAMA ORANG LAIN SELAIN AKU! NGGAK! NGGAK AKAN RELA!” ucap Alvin histeris. Ya Tuhan, aku lupa kalau Alvin masih berada di kamarku.
“Vin, aku juga nggak mau ini terjadi. Tapi inilah takdir kita Vin, kita nggak mungkin bersama.” Munafik, itulah yang menggambarkan aku sekarang ini. Aku mencoba menenangkan Alvin, padahal aku sendiri...
“Nggak Ag! Bagaimanapun caranya aku bakal tetep nikahin kamu! Bagaimanapun caranya!” Air mataku kembali jatuh. Tuhan, mengapa cobaan yang kau berikan begitu besar? Dan mengapa cobaan tersebut seolah tiada habisnya? Mengapa Tuhan? Mengapa?
Kurasakan kembali hangatnya dekapan Alvin, ku pejamkan kembali mataku. Air mataku terus saja mengalir. Tanpa kusangka, Alvin menyeka air mataku.
“Jangan nangis Ag, aku sayang kamu. Aku nggak mau kamu nangis.” Ucapnya tepat di telingaku.
Dapatkah kita bersatu?
Walau perbedaan itu ada,
Walau ku tahu kita tak mungkin bersama,
Jurang perbedaan itu terlampau jauh,
Dan kini,
Biarlah air mata itu jatuh dan mengalir,
Membasahi pipi dan memenuhi ruang dalam hatiku yang kosong,
Salahkah aku mencintaimu?
Salahkah aku memendam rasa ini?
Entahlah…
Hanya kita dan Tuhan yang mengetahuinya.
+++
Air mataku kembali jatuh, entah untuk keberapa kalinya. Aku tak kuasa membendungnya. Pedih. Itulah yang kini kurasakan. Mengapa ini terjadi kepadaku? Apa memang seorang gadis desa sepertiku tidak pantas mendapatkan cinta? Ah, berfikir apa aku ini? Sudahlah Ag, lupakan dia. Dia berbeda denganmu. Sangat beda. Masih teringat dalam benakku saat pertama kali mengenal dirinya.
“Pernah ada rasa cinta antara kita kini tinggal kenangan…” aku besenandung kecil sembari menaiki sepeda miniku. Hembusan semilir angin membelai wajahku serta menerbangkan rambutku yang tak ku ikat. Aku bersiul-siul kecil, menikmati indahnya alam. Ku lihat ada seorang pemuda yang tinggi putih berlari dari arah yang berlawanan denganku.
CIITT… Aku mengerem sepedaku tepat didepan kakinya. Aku menutup mataku, takut. Tiba-tiba aku merasa ada yang menaki boncengan sepedaku. Aku menoleh,
“Eh,, siapa kamu? Kok main naik aja sih? Apa kita kenal?”
“Ssstt… Gue bonceng lo ya? Tadi gue dikejar-kejar sama orang suruhan bonyok gue. Sekarang jalanin sepedanya sebelum gue dipaksa balik,” perintahnya, aku mengangkat bahu kemudian menjalankan kembali sepedaku. Tak butuh waktu lama, aku dan pemuda itu sampai pada tempat rahasiaku.
“Huah… Seger!” Teriaknya begitu turun dari sepedaku. Aku tersenyum kecil. Ku amati wajahnya, setiap lekukan dari wajahnya sangat mempesona. Dia begitu tampan. Caranya berbicara, tatapan matanya, dan caranya tersenyum benar-benar mempesona. Aku yakin, dia berasal dari kota. Eh, tunggu… Dia berasal dari kota? Kok bisa nyampe sini? Aku berjalan mendekatinya yang telah lebih dulu meninggalkanku.
“Hm… Nama kamu siapa?” Tanyaku membuka keheningan antara kami.
“Gue? Gue Alvin. Alvin Jonathan. Kalau lo?” Alvin, hm… nama yang bagus.
“Agni, Agni Tri Nubuwati.”
“Oh, Agni. Eh, makasih ya boncengannya? Oh ya, mulai sekarang kita berteman ya?” Aku mengangguk.
Begitulah awal mula pertemuan kami, sejak saat itu aku semakin dekat dengannya. Bahkan, orang tuaku bekerja pada orang tua Alvin. Orang tua Alvin begitu baik kepadaku. Entah darimana asalnya, perasaan itu tumbuh. Ada getaran-getaran halus yang melewati hatiku saat bertatapan dengannya. Dan tak kusangka, dia menyatakan cinta padaku. Aku tak menolaknya karena aku juga mencintainya. Walaupun kami harus pacaran secara sembunyi-sembunyi. Mengingat latar belakang kami yang berbeda 180 derajat. Dan belum lagi keyakinan kami yang berbeda. Aku rasa itu ujian bagi cinta kami. Namun ternyata? Aku salah! Ujian terhadap cinta kami tak hanya berhenti sampai disitu. Semuanya datang dan berlalu begitu saja menerpa perjalanan cinta kami, mulai dari : perbedaan keyakinan, perbedaan status social, Alvin yang dijodohkan, dan masih banyak lagi. Apakah cinta kami salah? Aku tahu, aku hanya seorang gadis desa biasa. Tapi, apakah aku tak pantas mendapatkan cinta itu? Hari terus berganti dengan hari lagi. Tibalah saat yang paling aku takutkan. Ya, hari ini adalah hari pertunangan Alvin dengan Nova, Nova Chintya Sinaga. Seorang gadis ayu yang merupakan calon dari orang tua Alvin. Aku ikut membantu dalam acara pertunangan itu. Ya, karena bu Angel, ibunya Alvin begitu mempercayakan hal ini kepadaku. Sekarang, yang bisa kulakukan hanya termenung. Menyesali nasibku yang buruk. Aku menatap langit malam dari jendela kamarku. Aku sengaja tidak ikut merayakan pesta tersebut. Toh, ikut dalam pesta tersebut hanya membuat hatiku semakin sakit. Air mataku kembai mengalir deras. Aku menyekanya perlahan. Aku begitu cengeng, yang sangat bertolak belakang dengan penampilanku yang cuek dan terkesan tomboy. Kutatap langit, aku melihat ada sebuah bintang jatuh. Aku memejamkan mataku, mengucapkan harapanku. Konyol memang.
Semoga aku dan Alvin dapat bersama, itulah harapanku. Aku kembali membuka mata. Menatap cincin yang Alvin berikan kepadaku. Lagi-lagi, air mataku jatuh. Aku memejamkan mataku. Perlahan, kuarasakan sebuah tangan melingkar diperutku. Aku membuka mata dan berbalik.
“Alvin,” Pekikku, bukannya menjawab dia malah meletakkan dagunya ke bahuku. Aku kembali memejamkan mataku. Merasakan sensasi saat Alvin memelukku. Hening, beberapa saat kemudian.
“Ag, aku mau kamu. Bukannya Nova.” Ucapnya lirih.
“Tapi Vin, Nova pilihan orang tua kamu. Itu berarti dia yang terbaik buat kamu, bukan aku.” Dia melepas pelukannya dan menatapku tajam.
“Ini hidup aku, aku yang berhak menentukan. Bukannya mereka.”
“Vin, Pak Mario dan Bu Angel pasti memilih pasangan yang terbaik buat kamu. Lagipula kita berbeda. Aku beribadah di masjid, sedangkan kamu? Kamu beribadah di gereja. Jika ummat agamaku menikah, menggunakan penghulu. Namun agamamu? Melalui seorang pastur. Kita berbeda Vin. Berbeda jauh,”
“Kalau itu masalahnya, okey. Aku bakalan pindah keyakinan. Apapun akan kelakukan demi kamu,” Aku tersentak. Tidak, aku tidak boleh membiarkan Alvin.
“Jangan Vin, agama itu bukan mainan yang dapat dengan seenaknya berpindah-pindah.”
“Tapi aku mau kamu, aku mau kamu Agni. Bukan yang lain…” Aku menempelkan jari telunjukku ke bibir Alvin.
“Ssstt… Walaupun kita tidak bisa bersama, toh kamu tahu kalau hati ini milik kamu.” Dia tersenyum, diraihnya tanganku. Aku merasakan genggamannya begitu erat. Diangkatnya tanganku, kemudian dia mengecup punggung tanganku.
Tok… Tok… Tok…
“Ag… Agni…” Panggil seseorang, yang kuyakini itu ibuku, Ify. Aku segera menyuruh Alvin bersembunyi di balik gorden jendela kamarku. Aku segera merapikan diri. Dengan perlahan aku membuka pintu kamarku. Saat aku membuka pintu kamarku, aku melihat ibuku telah berdiri dengan sebuah senyuman.
“Ada apa bu?”
“Gini loh Ag, ada anaknya teman bapak kamu yang melamar kamu. Dan nggak ada salahnya kita terima. Jadi kami sepakat buat menikahkanmu dengan anak teman bapakmu itu.” Ya Tuhan, apa lagi ini? belum habis masalah yang muncul akibat pertunangan Nova dan Alvin, kini aku kembali dikejutkan dengan adanya rencana pernikahanku dengan orang lain.
“Si… Siapa orangnya bu?”
“Cakka. Cakka Kawekas Nuraga dia anak yang baik lho, makanya bapak dan ibu nerima lamarannya. Yo wis tha nduk, kamu ndang tidur. Besok kita mbalik mara kampung.” Aku kembali menutup pintu kamarku setelah ibu pergi meninggalkanku.Lututku terasa lemas, aku tak sanggup menahan beban tubuhku. Gejolak di hatiku kembali muncul. Apakah ini pertanda kalau aku dan Alvin memang tidak ditakdirkan untuk bersatu?
“Ag... Ag... Ni... ka...mu... NGGAK! AKU NGGAK RELA KAMU NIKAH SAMA ORANG LAIN SELAIN AKU! NGGAK! NGGAK AKAN RELA!” ucap Alvin histeris. Ya Tuhan, aku lupa kalau Alvin masih berada di kamarku.
“Vin, aku juga nggak mau ini terjadi. Tapi inilah takdir kita Vin, kita nggak mungkin bersama.” Munafik, itulah yang menggambarkan aku sekarang ini. Aku mencoba menenangkan Alvin, padahal aku sendiri...
“Nggak Ag! Bagaimanapun caranya aku bakal tetep nikahin kamu! Bagaimanapun caranya!” Air mataku kembali jatuh. Tuhan, mengapa cobaan yang kau berikan begitu besar? Dan mengapa cobaan tersebut seolah tiada habisnya? Mengapa Tuhan? Mengapa?
Kurasakan kembali hangatnya dekapan Alvin, ku pejamkan kembali mataku. Air mataku terus saja mengalir. Tanpa kusangka, Alvin menyeka air mataku.
“Jangan nangis Ag, aku sayang kamu. Aku nggak mau kamu nangis.” Ucapnya tepat di telingaku.
+++
Maafkan aku,
Maafkan aku yang telah membiarkanmu menitikan air mata,
Janganlah menangis,
Aku tak kuasa melihatmu menitikan air mata,
Tidak tahukah kamu seberapa berharganya kamu dimataku?
Aku tersenyum karenamu,
Tertawa karenamu,
Bahkan, menangispun karenamu,
Isakanmu begitu menggetarkan jiwaku,
Menusuk hatiku,
Hanya satu pintaku,
Berhentilah menangis.
+++
“Jangan nangis Ag, aku sayang kamu. Aku nggak mau kamu nangis.” Bisikku ke Agni. Jujur, aku tak kuasa melihat air matanya jatuh. Aku bodoh! Aku memang bodoh! Sebagai lelaki, aku tidak mampu mencegah air mata yang telah Agni keluarkan untukku. Aku memang pantas disebut ‘pecundang’.
“Vin… Aku…”
“Ssst… Aku nggak mau denger kamu nangis lagi Ag, aku nggak mau denger kamu nangis lagi Ag. Nggak mau lagi.” Apakah ada yang salah dengan ucapanku? Bukannya berhenti menangis, air mata Agni malah semakin deras mengalir. Dengan segera kuhapus air mata itu.
“Ag, please berhenti nangis. Aku nggak sanggup liat kamu nangis. Kamu tahu alasannya kan?” Dia menggeleng lemah. Aku tersenyum kecil.
“Karena kamu adalah separuh jiwaku. Jika kamu menangis, aku juga akan memangis. Karena…” Aku kembali meraih tubuhnya, ku dekap dia. “…aku menangis karenamu, aku tersenyum karenamu, aku tertawa karenamu, dan aku bersedih juga karenamu.” Ku regangkan pelukanku. Kulihat dia tersenyum. Entah mengapa, aku ikut menarik 2 sudut bibirku membentuk sebuah senyuman.
“Tuh kan, kamu senyum aku jadi ikutan senyum.” Tanpa sadar, aku mengecup pipinya. Ah, bukannya itu sudah biasa? Tidak! Ini tidak biasa! Kali ini aku mengecupnya cukup lama. Mungkin, aku mencoba menyalurkan semua perasaanku melalui kecupan itu. Memang bukan ciuman bibir. Tapi, tidak semua rasa sayang disalurkan dengan sebuah ciuman bibir bukan?
“Aku sayang kamu, Vin.” ucapnya. Kurasakan semakin memelukku erat, akupun membalas pelukan tersebut.
“Aku juga sayang kamu, Ag.”
Aku mengerjapkan mataku, perlahan mataku terbuka. Cahaya matahari masuk melalui celah jendela. Akupun bangkit dan menuju kamar mandi. Seusai mandi aku teringat tentang Agni.
“Gini loh Ag, ada anaknya teman bapak kamu yang melamar kamu. Dan nggak ada salahnya kita terima. Jadi kami sepakat buat menikahkanmu dengan anak teman bapakmu itu.”
“Si… Siapa orangnya bu?”
“Cakka. Cakka Kawekas Nuraga dia anak yang baik lho, makanya bapak dan ibu nerima lamarannya. Yo wis tha nduk, kamu ndang tidur. Besok kita mbalik mara kampung.”
Siluet-siluet kejadian semalam muncul lagi dikepalaku. Tubuhku bergetar, aku menggigit bibir bawahku, mencoba menahan semua rasa sakit hatiku. Cengeng, tetapi itulah aku. Aku hanya seorang pemuda bodoh yang membiarkan gadisnya menikah dengan orang lain. Pemuda bodoh yang menjalin hubungan dengan gadis yang sama sekali ia cintai. Apakah aku harus membiarkan gadisku menikah dengan orang lain? Tidak! Agni harus menikah denganku! Segera aku menuju kamar Agni yang terletak di lantai bawah.
Ceklek,
“Agni… Ka…” kalimatku terhenti begitu saja saat aku melihat kamar Agni kosong. Jangan-jangan…
“Ma… Mamah…”
“Ada apa sih sayang? Emang kamu kira ini hutan apa? Teriak-teriak segala?” Ucap mamaku, Angel sembari menuruni tangga rumah kami.
“Agni mana ma?”
“Loh? Kamu nggak tahu ya?” Aku mengernyitkan kening, bingung. Agni menghilang? Ada berita yang tidak aku ketahui? Jangan-jangan Agni… Segera saja aku mengambil kunci motorku menuju rumah lama Agni.
“Loh? Alvin, kamu mau kemana? Alvin, Alvin,” Ucapan mamaku tak begitu aku hiraukan, yang ada difikiranku sekarang ini adalah : mencegah dan membatalkan pernikahan Agni.
Butuh waktu cukup lama untuk mencapai rumah lama Agni. aku harap Agni belum terikat pernikahan dengan siapapun. Di ujung gang rumah Agni, menjulang sebuah janur kuning yang melengkung. Aku segera mencari Agni.
“Eh, den Alvin toh. Mari masuk.” Tawar bik Ify. Aku hanya menggeleng.
“Em… Alvin mau ketemu Agni bik, Agninya ada?”
“Ada den, dia ada di kamar. Silahkan kalau mau ketemu.” Bik ify berjalan terlebih dahulu. Aku terpaku didepan kamar Agni. Sekelebat bayangan masa lalu kembali muncul dalam otakku.
“Alvin?! Ngapain kamu disini?”
“Ssst… Jalan-jalan yuk,”
“Tapi aku…”
“Nggak ada kata nolak! Pokoknya lo harus ikut gue!” Aku membawa Agni ke tempat rahasia kami. Tempat dimana kami berkenalan, tempat kami menghabiskan waktu berdua.
“Lho Vin, kok kamu bawaaku kesini?” Aku tak menjawab. Ku tatap matanya dalam, akupun berlutut dihadapannya. Ku genggam erat jemarinya. Aku menarik nafas.
“Ag, aku sayang sama kamu. Entah mengapa perasaan itu begitu dalam. Maukah kamu menjadi kekasihku?” Dia menjawab dengan anggukan. Aku refleks memeluknya.
“Alvin?!” Pekikan Agni cukup mengagetkanku.
“Nah, Ag, ibu tinggal dulu. Kamu ngobrol dululah sama den Alvin.” Bik Ifypun meninggalkan kami berdua. Ku pandangi wajah Agni, rasanya aku tak pernah bosan menatapnya. Dia adalah anugrah Tuhan yang terindah. Sungguh beruntung lelaki yang bisa memilikinya seutuhnya. Dan sayangnya lelaki itu bukan aku.
“Vin, Alvin...”
“Eh, iya Ag,”
“Kamu mau apa kesini?”
“Kamu cantik Ag, cantik banget.” Pujiku, ku lihat dia menunduk, entah malu atau…
“Ma… Makasih ya Vin,” Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.
“Sayang ya Ag, pengantin prianya bukan aku.” Ucapku getir.
“Vin, aku…”
“Ag, izinin aku meluk kamu Ag. Aku janji ini yang terakhir.” Tanpa meminta persetujuannya aku memeluknya, merasakan lagi aroma tubuhnya yang sangat ku rindukan setiap saat.
“Ag, entah kenapa aku pengen waktu berhenti sekarang juga. Aku nggak mau pisah sama kamu.”
“Agni, ayo keluar nduk, Cakka sudah nunggu. Wis mau ijab ini.” Suara bik Ify menggema memenuhi ruangan. Agni keluar denganku. Sungguh, aku tidak sanggup melihat gadisku menjadi istri orang lain.
“Baiklah nak Cakka, ikuti saya.” Perintah mang Debo, ayah Agni.
“Baik pak,”
“Saya nikahkan dan kawinkan kau Cakka Kawekas Nuraga bin Hidayat dengan anakku Agni Tri Nubuwati bin Andryos dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai,”
“Saya teri…”
BRUK,,
Tubuh Agni ambruk ketika Cakka mulai mengucapkan ijab, aku menghembuskan nafas lega. Setidaknya, Agni belum resmi menjadi istri Cakka. Dengan sigap aku membawa Agni ke kamarnya. Aku menekan beberapa digit nomor diHPku untuk menghubungi Iel, dokter pribadiku.
Seusai Iel keluar dari kamar Agni, aku langsung menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.
“Yel, gimana keadaan Agni? dia baik-baik aja kan? Kenapa dia bisa pingsan? Apakah dia perlu dibawa ke rumah sakit?” Aku dan Iel hanya berbeda beberapa bulan saja, sehingga kami tidak perlu menggunakan beberapa sapaan formal. Lagipula Iel kurang suka dipanggil ‘dok’ atau ‘dokter’.
“Agni nggak papa kok Vin, dia cuma kecapekan aja.”
“Thanks Yel,”
“Oh ya, gue pamit dulu Vin,” Aku hanya mengangguk. Dengan gerakan kilat aku menuju kamar Agni. Ternyata, di kamar Agni sudah ada Cakka. Ku lihat Cakka menggenggam erat jemari Agni. Tuhan, apakah ku sanggup melihat semua ini? Seperti ada tubrukan benda tumpul dihatiku saat Cakka mengecup punggung tangannya. Seharusnya itu aku! Bukan Cakka!
“Aku sayang banget sama kamu Ag, sejak dulu malah. Cepat sadar ya Ag,” Dia mengakhiri ucapannya dengan mengecup pipi Agni. Sedalam itukah perasaannya? Apakah aku pantas bersama Agni?
Dengan berat hati aku merelakan Agni untuk menikah dengan Cakka.
“Baiklah nak Cakka, ikuti saya.”
“Baik pak,” kata Cakka sembari melirik Agni dan aku secara bergantian. Agni selalu menundukkan kepala menahan tangisnya. Sayang, aku tidak bisa lagi menyeka air matanya. Agni, tolong hentikan air matamu.
“Saya nikahkan dan kawinkan kau Cakka Kawekas Nuraga bin Hidayat dengan anakku Agni Tri Nubuwati bin Andryos dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai,”
“Tunggu!” Tiba-tiba Cakka menghentikan acara pernikahan mereka. Dia menarik Agni kearahku.
“Ag, kamu menikahlah sama Alvin. Aku rela kok,” Aku dan Agni terkejut mendengar ucapan Cakka.
“Cak… Cakka…”
“Aku tahu Ag, cinta kamu cuma buat Alvin. Bukan aku, jadi aku harap kalian bisa bersatu.” Cakka melangkah untuk pergi, namun baru beberapa langkah ia berbalik dan mengecup kening Agni.
Tahun demi tahun ku lalui sebagai suami dari seorang Agni Tri Nubuwati. Kini, aku dan Agni telah memiliki seorang anak, yaitu Nuna. Aku sangat menyayangi mereka. Bagiku mereka adalah hartaku yang paling berharga. Agni dan Nuna serta mamaku adalah perempuan yang berarti bagiku sekarang, esok dan selamanya. Aku bersyukur, karena Cakka telah menyerahkan posisinya sebagai pengantin pria kepadaku. Apabila tidak? Entahlah. Aku tidak dapat membayangkannya. Bagaimanapun keadaanmu, I will stay loved you Agni.
+++
Dan jika dulu cinta yang memisahkan kita,
Pada akhirnya, cinta juga yang menyatukan kita,
Kamu dan aku telah bersatu untuk selamanya,
Benar kata orang,
Cinta sejati tidak akan pernah lekang oleh dan waktu,
Aku akan selalu mencintaimu.
+++
Haish, jelek yah?
Maaf, penulis masih amatiran.
Dibaca, and coment aja yah? #Ngarep
Sankyu…
Author