Selasa, 02 April 2013

Waiting...



cast : 
Alvin Jonathan as himself
Alyssa Saufika as herself
Jonathan Andriano as himself
Nasya Marcella as herself

Disclaimer : Cerita ini dibuat untuk tanpa maksud apapun, semua character yang ada di cerita ini murni buatan author, author cuma pinjem nama sama semua tokoh yang ada di cerita ini.  Anggap saja cerita ini semacam FTV yang kebanyakan monolognya, ehehe :D



Menunggu...
Tidakkah kamu lelah untuk terus menanti?
Begitu besarkah cintamu padanya?
Kamu tidak ‘dekat’ dengannya,
Namun kamu ‘sakit’ karenanya
Apakah tiada ruang untukku dihatimu?
Apakah begitu berartinya dia untukmu?
Lalu, apakah kamu akan melihatmu?
Akankah kamu mampu merasakan perasaanku untukmu?             

            Alvin tercekat saat melihat Alyssa menangis saat menatap layar iPhonenya,  lidahnya seakan kelu tak sanggup lagi untuk berkata. Dia mendesah pelan menatap gadis itu. Andai dia lebih berani untuk mengungkap semuanya, Andai dia tak ragu untuk mengungkap semua, dan Andai dia mampu membuat itu sadar akan hadirnya perasaan itu pasti dia tak akan pernah membiarkan mata indah gadis itu mengeluarkan air matanya. Beribu kata andai kini menyerang benaknya. Dia bodoh. Ya, dia merasa sangat bodoh. Dia bodoh karena membiarkan membiarkan gadis itu terus menunggu suatu seseorang yang tak pasti. Perlahan dia memantapkan lagi hatinya untuk melangkahkan kaki mendekati gadis itu, gadis yang menghiasi hatinya. Alyssa.

            “Alyssa... Apa yang terjadi? Apa yang bikin elo nangis?” tanya Alvin, Alyssa merasa Alvin berada di dekatnya langsung memeluk Alvin erat.
            “Dia Vin, dia....” Alvin yang tau siapa yang dimaksud Alyssa dengan ‘dia’ langsung mengurai pelukan Alyssa. “Dia udah jadian sama Nasya.” Alvinpun kembali memeluk Alyssa.
            “Elo bodoh Jonathan, kenapa elo malah jadian sama Nasya? Elo bakal nyesel saat liat Alyssa bahagia bukan karena elo, udah cukup elo nyia-nyiain kesempatan dari gue. Ini saatnya gue ngerubah airmata dukanya menjadi tangis bahagia” ucap Alvin dalam hatinya. Ia berjanji pada dirinya bahwa mulai detik itu dia akan menjaga Alyssanya.
            “Tenang Alyssa, elo masih punya gue. Gue bakal jaga elo, Alyssa”
            “Tapi Al, gue sayang, gue cinta sama dia. Gue nggak yakin bisa sanggup ngeliat dia sama Nasya. Gue emang bisa sayang sama dia dalam diam. Tapi Al, gue...” Alvin meletakkan telunjuknya ke bibir Alyssa. Dipegangnya kedua pipi Alyssa dan ditatapnya kedua mata Alyssa.
            “Ssssstt... Alyssa pasti bisa. Alyssa yang gue kenal itu tegar. Gue yakin Alyssa pasti bisa.”
            “Elo bener Al, gue pasti bisa. Tapi elo musti janji sama gue, jangan pernah tinggalin gue.”
            “Pasti. Gue bakal selalu ada buat elo Alyssa.” Alyssa kembali tersenyum dan memeluk Alvin.
+++
Mungkin aku tak pernah tau apa yang terjadi,
Yang aku tau adalah aku menyayanginya,
Yang aku tau adalah aku mencintainya,
Dan yang aku tau, kini aku harus melupakannya,
Semoga aku sanggup untuk melupakannya...

 “Alyssa,” panggil Sivia, seorang gadis chubby yang merupakan sahabatnya sejak masuk SMP hingga sekarang menjadi partnernya dalam sebuah girlband yang bernama “BliNK”. Merasa dipanggil Alyssa menghentikan langkah dan menolehkan kepalanya.
            “Eh, elo Vi, gue kira siapa. Panggil Ify aja Vi, jangan kena virusnya Alvin deh manggil gue Alyssa segala.”
            “Elah Fy, nama Alyssa itu keren tau. Lebih keren ketimbang Ify. ALYSSA BLINK. Keren kan?”
            “Enggak, kerenan Ify. Ntar kalo distage namanya Ify Alyssa, keren kan?”
            “Hhhh... serah deh. Yang penting elo kapan mau dengerin lagu bikinan elo itu? Kapan juga mau take vocalnya?”
            “Mmmm.... Ntar aja deh Vi, gue lagi nggak focus nih, gue ilang inspirasi mendadak, pengennya sih emang besok take vocal tapi bener-bener lossfocus nih,”
            “Yaudahdeh, semoga elo focusnya cepetan yah, ohya Fy, gue duluan yah, abang Iel udah nungguin gue nih, hehe, byebye Ify tayang,” pamit Sivia sembari menjawil dagu Alyssa. Alyssa sendiri sudah terbiasa dengan sikap ‘ajaib’ yang dimiliki sama Sivia. Dia memilih melanjutkan langkahnya menuju ruang musik, siapa tahu dia mendapat sebuah inspirasi untuk melanjutkan lagunya.

“Setiap waktu memikirkanmu,
Ku katakan pada bayangmu,
Sampai kapan ku harus menunggumu jatuh cinta,
Rindu ini terus mengganggu,
Ku tak sabar ingin bertemu,
Berapa lama lagi menantikan getar cinta...”

            Di mainkannya sebuah grand piano berwarna putih di ruang musik di SMA Cempaka, tempat dia kini menuntut ilmu. Alyssa yang memang sudah mampu bermain piano sejak berumur 4 tahun memainkan piano dengan tatapan kosong.

“maafkan jika kau ku sayangi,
dan bila ku menanti,
pernahkah engkau coba mengerti,
Lihatlah ku di sini,
Mungkinkah jika aku bermimpi,
Salahkah tuk menanti,
Takkan lelah aku menanti,
Takkan hilang cintaku ini,
Hingga saat kau tlah kembali,
Kan ku kenang di hati saja,
Kau telah tinggalkan hati yang terdalam,
Hingga tiada cinta yang tersisa di jiwa”
“Alyssa...” panggil seseorang yang membuyarkan lamunan Alyssa, Alvin. Ya orang itu adalah Alvin, pemuda yang diam-diam mencintainya yang tak tahu kapan rasa itu mulai tumbuh dalam benaknya.
            “Eh, ya, ada apa Al?”
            “Elo mikirin apa Lyssa? Kenapa elo malah nyanyiin lagu itu?”
            “Hah? Lagu apa? Orang tadi gue nyanyi lagu Andaikan kok, lagu yang gue bikin buat dinyanyiin sama Blink, rencananya kan lagu itu di launch bulan depan,”
            “Nggak Lyssa, elo tadi nggak nyanyiin lagu itu, elo nyanyiin lagu lain, masak iya nggak sadar sih? Ada apa Lyssa? Gue ini sahabat elo kan? Please tell me what do you feel now,”
            “Dia Vin...” melihat Alyssa berada di ambang kerapuhannya, Alvinpun memeluk Alyssa.
            “Dia kenapa Lyssa?” tanya Alvin sambil mengelus puncak kepala Alyssa.
            “Dia...” Alyssa terdiam, pikirannya melayang mengingat kejadian sebelum dia masuk ke dalam ruang musik. Tepatnya saat ia melihat ke halaman.

“Asya awas!!”  peringat seoranng pemuda tinggi putih kepada seorang gadis manis dengan lesung pipi yang membuatnya semakin manis. Pemuda itu adalah Jonathan dan gadis itu tak lain adalah Nasya.
            “Aduh...” Nasya hampir terjatuh karena tidak sengaja tersandung batu, refleks Jonathan menangkap tubuh Nasya.
            “Nah kan, tadi Athan udah bilang kan? Hati-hati, mentang-mentang udah jago nge-dance trus lupa sama sekeliling. Lain kali kalo nge-dance Athan harus pastiin lokasinya aman, kalo perlu jika ada batu, batunya Athan kenain pajak,” omel Jonathan sambil membantu Nasya berdiri. Mendengar omelan Jonathan, Nasya tersenyum.
            “Apasih Athan, masak iya batu dimintain pajak, emangnya batunya punya uang, aneh-aneh aja sih,”
            “Biarin, salah siapa  itu batu bikin Asya hampir jatoh, kalo jatoh beneran gimana, Athan kan nggak mau, Asya jatoh, kalo jatoh trus kesleo gimana?” Nasya terkekeh melihat kecemasan Jonathan. Bagi Nasya, Jonathan yang ada didepannya yang sedang mengomel karena sebuah batu kecil adalah Jonathan yang sangat menggemaskan. Bagi orang lain memang Jonathan merupakan orang yang cuek dan angkuh, namun dengan Nasya dia berubah menjadi orang yang baik, manja, dan menggemaskan. Setidaknya hal itu untuk Nasya. Nasyalah yang merubah Jonathan menjadi Jonathan yang sekarang.
            “Apa sih Athan, sok imut banget. Ini Jonathan apa bukan sih?” Jonathan merenggut.
            “Biarin, sama pacar ini, week” ucap Jonathan sambil menjulurkan lidah. Tiba-tiba Jonathan memeluk Nasya.

            Mendadak dada Alyssa kembali sesak, diurainya pelukan Alvin diraihnya sebuah inhaler. Alvin membantunya untuk duduk.
“Kamu nggak papa, Lyssa?” Alyssa menggeleng lemah.
“Jangan pernah pergi dari aku, Alv” ucap Alyssa lirih yang dijawab dengan sebuah anggukan pasti dari Alvin.
“Aku nggak bakal  ninggalin kamu Lyssa, trust me”
+++
Aku tahu dia, Aku tahu tentangnya,
Dia memang baik, sangat baik,
Menjadi orang yang ia cintai pasti terasa sangat beruntung,
Tapi aku rasa...
Bukan aku yang pantas mendapatkan cinta itu...

            “Aku tahu, Vin kamu yang lebih pantas dengan Ify, bukan aku. Aku harap kamu mampu untuk menjaga hatinya.” Gumam Jonathan  di dekat jendela ruang musik.
            “Apa kamu yakin bener-bener nggak ada rasa buat Ify?” tanya Nasya.
            “I’m sure, dear. Aku tahu kalau Ify kagum bahkan menyayangiku. Tapi dia nggak sadar kalau hatinya bukan menunggu aku, tetapi Alvin.”
            “Alvin?”
            “Ya, Alvin. Dalam sadarnya Ify memang menginginkanku ada di sampingnya, tapi nalurinya lebih membutuhkan Alvin ada disampingnya. Alvin adalah sandaran bagi jiwanya yang rapuh. Siapapun pasti akan bahagia dicintai olehnya, tapi bukan aku yang pantas dicintainya,” Nasya memeluk Jonathan, rasanya dia jatuh cinta lagi pada kedewasaan Jonathan. Kini tiada lagi alasan baginya untuk menyesal saat menerima Jonathan sebagai kekasihnya. Nasya tersenyum saat sebuah lengan melingkari tubuhnya dan membalas pelukannya.
+++
Aku tak pernah tahu bagaimana akhir kisah ini,
Akankah aku masih sanggup untuk berpura-pura tak tahu tentangnya?
Semoga dia segera tahu bahwa yang terbaik untuknya...

            “Nasya, kamu tahu Ify kan?”
            “Ya, dia kan anggota BLiNK, siapa juga yang nggak tahu dia?”
            “Apa kamu tahu tentang Ify?”
            “Tahu kalau dia suka sama kamu?”
            “Kok kamu tahu?”
            “Aku ini cewek Jo, aku tahu arti tatapannya ke kamu selama ini. Aku cuma berpura-pura nggak pernah tau apa yang terjadi. Aku juga tahu bahwa Alvin mencintai Ify.”
            “Lalu...”
            “Cepat atau lambat Ify bakal menyadari semuanya. Aku yakin Ify bakal tau siapa yang terbaik untuknya.”
+++
Fin.

Just Dialogue

ps : kalo mau tau konfliknya baca dan cermati tiap kalimatnya baik-baik, karena cerpen ini cuma terdiri atas dialog dan 2 buah surat


            “Alvin, kamu mau kemana?”
                “Bukan urusan lo! Udah cukup elo  hancurin gue DULU!”
                “Tapi Alv...”
                “Jangan panggil gue dengan sebutan itu lagi. Alv udah mati seiring dengan pilihan Ni 5 tahun yang lalu,”
                “Alv...”
                “Hentiin air mata lo! Gue bukan Alv yang bakal luluh sama air mata lo.”
                “Alv, jangan pergi...”
                “Andai aja kamu tau yang sebenernya...”
                “Kalo kamu nggak mau dia lahir...”
                “Gue emang nggak menginginkannya. Sama sekali tidak, baik elo maupun dia.”
+++
                “Gue nggak bisa kayak gini terus, Chels. Gue capek.”
                “Elo musti berdamai dengan ego lo, Vin.”
                “Nggak bisa Chels, setiap gue liat dia pasti gue inget keputusannya 5 tahun lalu. Gue nggak pernah bisa terima ini, dia dulu  yang memaksa untuk pergi dan merubah statusnya menjadi ipar gue, dan sekarang apa? Dia kembali lagi dan kini dengan status istri gue. Gue bukan boneka Chels, gue capek.”
                “Kenapa, Vin? Bukannya dulu elo yang seneng kalo dia menjadi istri elo”
                “Nggak Chels, cukup semua luka ini.”
                “Vin, dia nggak salah, dia nggak pernah salah. Ini semua sudah takdir kalian.”
                “Takdir macam apa? Kenapa saat gue mulai sayang sama elo hal ini terjadi? Kenapa saat gue mulai move on dari semua keterpurukan gue dia harus kembali? Kenapa dia harus kembali dengan kondisi yang berbeda.”
                “Kondisi yang berbeda? Elo nggak mempermasalahkan kandungannya kan?”
                “Nggak, sama sekali bukan karena kandungannya tapi karena posisinya sebagai istrinya kak Cakka. Gue selalu sakit pas inget dia lebih milih kak Cakka daripada gue.”
                “Pikirin lagi, Vin. Jangan sampe elo nyesel nantinya.”
                “Kenapa elo baik banget, Chels? Kenapa elo masih baik ke gue, padahal elo tahu gue belum bisa bales perasaan elo?”
                “Buat gue, ngeliat elo selalu tersenyum itu udah lebih dari cukup, Vin.”
                “Makasih Chels, gue nggak tau apa jadinya gue apabila elo nggak pernah disamping gue saat ini.”
+++
                “Tuhan, apakah dosaku di masa lalu tak akan pernah termaafkan? Cakka, izinkan aku dan anak kita pergi untuk menyusul kamu. Maafin Agni, Yah, Bun, Pah, Mah, Ray, ini yang terbaik buat semua.  Maafkan aku, Vin hanya surat ini yang menjelaskan semuanya, karena kondisi kita saat ini nggak memungkinkan kita untuk berbicara.”
+++
“Aku tahu ini beresiko, tapi inilah yang terbaik,”
“Ibu Agni, silahkan masuk”
“Siang dok,”
“Siang, apakah yang membuat ibu yakin dan kembali lagi?”
“Kami tidak pernah diinginkan olehnya,”
“Tapi 3 bulan  lagi mereka akan lahir, apakah ibu tidak ingin memberinya kesempatan untuk hidup, siapa tahu kehadirannya mengubah jalan pikiran dia,”
“Tidak dok, lakukan saja sesuai yang saya minta kemarin.”
“Baiklah, semoga ini memang yang terbaik.”
+++
“Apa?! Agni menggugurkan kandungannya?... Dia juga meninggal?... Ba, baiklah kami akan datang  untuk mengambil jenazahnya.”
“Ada apa, mah?”
“Antar mama ke rumah sakit harapan, Ray.”
“Ada apa sih, mah?”
“Beri tahu kakakmu,  Alvin untuk pulang ke  rumah sekarang juga”
“Mah, mah...”
+++
“Kak, elo disuruh Mama pulang ke rumah sekarang juga... nggak tau, tadi gue nanya dicuekin... kayaknya ada hubungannya sama kak  Agni deh... iya, soalnya tadi Mama mukanya kayak orang bingung gitu, kayak pas mama tau kak Cakka meninggal dulu... iya, buruan.”
+++
“Mah, in... ini beneran Agni?”
“Iya,”
“Mama nggak lagi sandiwara kan?”
“Buat apa bergurau semacam ini, ini bukan hal lucu. Mama udah kehilangan Cakka untuk selamanya, dan sekarang Mama kehilangan Agni dan calon cucu Mama juga untuk selamanya. Mama kira dengan menitipkan Agni ke kamu, Agni bakal ngelupain niatnya buat menggugurkan kandungannya, ternyata mama salah.”
“Mah, dulu kan Ray sudah pernah minta buat Agni jadi istri Ray, Ray bakal ngelindungin Agni, mah. Kenapa mama milih aku?”
“Apa kamu pikir mama nggak tau hubungan kamu, Agni, dan Cakka di masa lalu?”
“Mama, Ray kira ini bukan salahnya...”
“Apa Ray? Mama menyesal Ray, sangat menyesal. Harusnya 3 bulan lagi kita kedatangan keluarga baru. Tapi sekarang harapan itu musnah.”
“Maafin Alvin, mah. Ini semua salah Alvin,”
“...”
“Mah, maafin Alvin. Alvin bener-bener nyesel mah,”
“Penyesalan kamu sudah tidak berguna, Vin. Ray, urus pemakaman Agni sekarang juga dan jangan pernah biarin Alvin nyentuh jasad Agni.”
“Tapi mah, Alvin...”
“Tante, apa tante yakin dengan keputusan tante?”
“Tante yakin. Sekarang lebih baik nak Chelsea bawa Alvin pergi. Tante nggak mau liat dia dulu hari ini.”
+++
“Agni, maafin gue. Gue emang bodoh. Agni, kenapa gue nggak pernah mau dengerin elo dulu? Kenapa elo harus pergi dengan cara seperti ini?”
“Vin, pulang yuk. Agni mau dimakamin sore ini.”
“Nggak Chels, percuma juga gue pulang, gue nggak diizinin buat ketemu Agni untuk terakhir kalinya. Kalopun gue pulang, apa gunanya gue disana?”
“Biarin gue yang ngomong ke nyokap lo, sementara gue bujuk tante Nasya, sebaiknya elo di kamar dulu.”
“Elo yakin?”
“Iya,”
+++
“Tante Nasya, Chelsea mohon, izinin Alvin liat kak Agni untuk yang terakhir kalinya. Chelsea mohon Tan,”
“Nggak, Chel. Keputusan tante sudah bulat.”
“Om Jo, Chelsea mohon, ijinin Alvin buat liat kak Agni. Chelsea mohon, om”
“Om nggak bisa bantu apapun. Om sendiri juga kecewa sama Alvin.”
“Alvin mohon ma, izinin Alvin liat Agni, sebentar saja ma,”
“Untuk apa kamu berlutut seperti itu? Bukankah kamu tidak mau Agni hadir di kehidupanmu lagi?”
“Alvin mohon ma...”
“Nasya, aku rasa Alvin berhak melihat Agni untuk yang terakhir kalinya.”
“Apa?! Nggak Fy, udah cukup dia nyakitin Agni.”
“Alvin, kamu mau lihat Agni kan? Bunda izinkan kamu untuk liat Agni.”
“Makasih Bun,”
“Fy, apa kamu nggak salah? Apa kamu nggak sakit dengan kepergian Agni?”
“Nggak Nas, ini semua sudah takdir. Aku tau Alvin sangat menyesal. Tadi aku dan Rio tidak sengaja melihat Alvin menangis saat membaca surat dari Agni di kamar mereka.”
“Apa kamu yakin?”
“Ya,”
+++
“Maafin aku Ag, aku tahu aku memang bodoh. Sesungguhnya aku masih mencintaimu. Maafkan aku telah membiarkanmu terjatuh. Aku mohon kamu kembali Ag, aku mohon...”
“Ag, kenapa kamu diem? Jawab aku Ag, jawab. Aku mencintai kamu Ag, sangat mencintaimu.”
“Kenapa kita harus berbicara lewat surat Ag? Kenapa kamu nggak ngomong langsung? Kenapa juga kamu lebih milih buat nyusul kak Cakka Ag? Kenapa?”
+++
Alvin,
Aku tahu kamu terluka karena keputusanku 5 tahun yang lalu, tapi yang perlu kamu tahu. Aku berhutang nyawa kepada kak Cakka. Dia yang mendonorkan ginjalnya ke aku. Andai saja  Bunda nggak pernah ngasih tau aku tentang hal ini, pasti aku akan menerima lamaranmu. Kamu tahu apa yang menyebabkan kak Cakka meninggal? Dia meninggal karena ginjal yang masih bertahan dalam tubuhnya mengalami infeksi. Aku tau kamu sakit. Tapi aku juga sakit, Vin. Aku sakit saat kamu bilang kamu nggak pernah menginginkanku dan anak ini. Namun aku juga senang kamu membenciku. Aku lebih senang kamu membenciku daripada kamu membenci kak Cakka.

Mungkin saat kamu baca surat ini, kamu nggak akan pernah bisa liat aku ataupun anak ini lagi. Mulai saat ini, kamu nggak akan pernah melihatku yang mungkin memuakkan bagimu. Aku mohon kamu pulang, Vin. Rumah ini milikmu. Nggak seharusnya kamu yang pergi. Kamu selama ini tinggal dimana, Vin? Apakah kamu baik-baik saja? Hampir 10 hari kamu nggak pulang. Aku sangat menginginkan kamu menerima kedua anakku. Ya, bayi yag ada di rahimku kembar 3, 2 laki-laki dan perempuan. Seandainya mereka lahir mereka akan ku beri nama Difa, Ozy dan Angel. Tapi semuanya mustahil. Ini bukan salahmu, ini semua salahku. Kamu pantas bahagia. Kejarlah kebahagiaanmu. Aku harap kamu akan senang saat aku pergi. Haruskah aku berlutut untuk memintamu pulang?

Sampaikan maafku kepada Bunda, Ayah, Mama, Papa, dan Ray. Aku nggak mungkin bertahan lagi. Aku dan kedua anakku ingin pergi menyusul kak Cakka. Mungkin di samping kak Cakka adalah  tempat terbaik untukku dan kedua malaikat kecilku. Tenang saja, Vin aku dan kedua anakku tidak mungkin menghantuimu karena menurut ilmu agama ruh yang sudah terpisah dari jasadnya maka juga akan terpisah dari bumi. Semoga kamu nggak pernah dihantui rasa bersalah yang akan memunculkanku lagi dalam ingatanmu. Sejujurnya aku masih mencintaimu, baik itu dulu, sekarang, ataupun nanti.
+++
Bunda, Ayah, Mama, Papa, Ray,
Aku minta maaf karena aku memilih buat pergi. Maaf karena penantian kalian selama 5 tahun belakangan harus sia-sia. Agni nggak mungkin lagi bertahan. Agni capek, aku udah kehilangan kak Cakka, ini semua karena Agni yang penyakitan. Terima kasih atas kesabarannya selama ini nunggu kehamilan aku berhasil. Sepertinya aku memang di percaya Tuhan untuk memiliki seorang anak. Dulu, saat aku hamil baru 4 minggu saja sudah keguguran. Entah apa dosa Agni di masa lalu sehingga Tuhan baru menitipkan kehidupan di rahim Agni sekarang. Tapi Tuhan memang baik kepada Agni, buktinya sekarang Tuhan nitipin 3 baby ke rahim Agni. Tapi Agni rasa, mereka lebih baik berada disamping kak Cakka. Kak Cakka pasti merindukan kehadiran mereka. Dan menurut dokter juga jika mereka lahir, mereka bakalan tidak sempurna. Kata dokter, berat badan Agni masih jauh diatas normalnya ibu hamil.

Ray,
Berhubung kak Agni nggak punya adik yang bisa dititipin buat ngejagain AyahBunda, kakak titip Ayah dan Bunda ya? Kamu cepetan nikah sama Acha ya, semoga kamu cepet dipercaya Tuhan buat jadi ayah, nggak kayak kakak dan kak Cakka yang musti nunggu bertahun-tahun buat jadi orang tua.

Papa Jo,
Papa jangan nangis ya? Soalnya kan mama Nasya nggak nangis. Mama Nasya aja kuat masak iya seorang papa Jonathan yang cool nangis sih, jangan ngulangin kejadian pas pemakaman kak Cakka ya, pah, hehe. Papa jangan lupa ya maksa si Ray cepetan nikah sama Acha.

Mama Nasya,
Agni minta maaf ma, Agni nggak bisa ngasih mama cucu, tenang ma, masih ada Alvin dan Ray. Suruh aja Alvin buruan nikah dengan Chelsea dan Ray buruan nikah sama Acha. Mama, andai aja kak Cakka nggak duluan pergi pasti mama bisa liat Kak Cakka, aku, Difa, Ozy, dan Angel main di halaman rumah, hehe.

Ayah,
Ayah jaga Bunda ya, tau sendiri kan kalo shock langsung drop, ya walaupun ekspresi bunda 11-12 sama mama, sama –sama tenang jadi nggak tau kapan lagi ngamuk deh,hehe. Maaf yah, Agni harus pergi dengan cara kayak gini, yang jelas Agni sayang sama ayah. Maaf juga karena Agni batal ngasih cucu ke ayah.

Bunda,
Maafin Agni ya bun, Agni tau bodoh, tapi ini yang terbaik Bun. Kalaupun mereka lagi mereka bakal cacat, Agni nggak mau kalo Agni ntar malu-maluin Bunda karena kondisi anak Agni. Oh ya Bun, hasil USG terakhir ada di kamar Agni di kotak kecil warna biru di kotak itu ada diary Agni juga. Tapi semuanya nggak ada yang boleh buka, kalo perlu di bakar aja deh. Dan jangan sampe diary itu dibaca Alvin. Udah cukup Agni nyakitin Alvin selama ini. Agni sayang banget sama Bunda.

Semuanya,
Agni pamit ya, nggak usah sedih kalo Agni pergi. Agni di sini baik-baik kok, yah walaupun harus disiksa Tuhan sebagai hukuman karena Agni telah membunuh ketiga anak Agni, tapi... ini lebih indah daripada Agni harus merepotkan kalian semua.
+++
            Fin.