Selasa, 07 Februari 2012

About (my) Love

Angin-angin yang bertiup menyambut kehadiranku di makam ibuku. Tiada yang pernah berubah dari tempat ini. Bedanya jika dulu aku ke tempat ini untuk mengunjungi nenekku, maka sekarang yang aku kunjungi adalah wanita yang telah memperjuangkan aku agar dapat menghirup udara di bumi. Terkadang aku bertanya, mengapa Tuhan harus menidurkan ibuku untuk selamanya? Mengapa bukan ayahku yang brengsek itu yang terlelap ditemani cacing-cacing pengurai jasad? Mengapa Tuhan? Mengapa? Ma, mama kenapa tinggalin Jonathan sendirian? Jonathan Cuma mau sama mama. Jo nggak bisa tinggal sama papa yang berengsek, ma. Jo yakin mama pasti tau apa yang papa lakuin sesudah mama pergi. Iya ma, papa memilih mengikat nama seorang perempuan jalang dengan namanya tepat 3 hari setelah mama pergi. Papa memang sangat brengsek!  Dia tega melupakan janjinya kepada aku dan mama hanya demi perempuan jalang yang entah dipungut papa darimana. Yang Jonathan tau ma, papa dulu pernah janji buat selalu nemenin mama dalam suka dan duka, Tapi sekarang apa? Papa malah ngebiarin mama sendirian di sini dan lebih milih  perempuan jalang itu.


“Kira, kamu harus pulang!” terdengar suara lelaki dewasa yang membuyarkan lamunanku. Ku edarkan pandanganku untuk mencari sumber suara lelaki itu.
“Nggak pa, Kira mau di sini. Kira mau nemenin mama, pa” aku terpaku menatap sosok yang-mungkin- bernama Kira itu. Darahku seakan berhenti mengalir saat menatap sekilas paras gadis itu. Mengapa dia begitu mirip Rana, sahabat kecilku? Ahh, kurasa aku mulai berkhalusinasi. Segera aku beranjak dari rumah abadi mama. Ku kecup sebentar nisan mama. Aku pergi dulu ma, Jo pasti kembali ma, pikirku.

Sesampainya di rumah, tanpa menghiraukan ucapan dari papa dan wanita yang sekarang berstatus jadi ibu baru bagiku. Aku langsung menghempaskan tubuhku ke atas ranjang. Mataku terpaku di sebuah pigura foto. Ku ambil pigura itu. Ku tatap foto gadis kecil itu. Ya, itu memang foto Rana. Rana, apakah kamu sudah kembali ke Indonesia? Apakah gadis tadi adalah kamu, Na? Kalau memang iya, kamu berubah ya, Na. Kamu sungguh sangat cantik dengan jilbab yang menghiasi kepalamu. Aku yakin Na, kita pasti akan bertemu kembali. Tanpa terasa, ragaku mulai menari-nari di alam mimpiku.

Terik mentari pagi yang masuk melalui celah-celah kamarku membuatku terbangun dari alam bawah sadarku. Aku bergegas membasuh wajahku dengan percikan-percikan air yang-mungkin- mampu menyegarkan awal hariku. Setelah merasa siap, ku sambar kunci mobilku dan aku bergegas menyusuri hari ini.
“Nak, kamu mau kemana?” tanya orang yang entah pantas jadi pengganti mamaku atau tidak. Yang jelas dia tidak akan pernah bisa merebut posisi mama di hatiku. Tanpa ku hiraukan ocehan wanita itu aku segera menuju garasi.

Ku pacu mobilku dengan kecepatan sedang menuju suatu tempat. Suatu tempat di mana aku sering menghabiskan waktu untuk menghilangkan semua kepenatanku. Tempat ini pula tempat dimana aku dan Rana sering menghabiskan waktu bersama. Aku menghela nafas berat, entah mengapa dadaku terasa begitu berat ketika aku harus mengingat Rana.  Ku alihkan pandanganku menyusuri tiap sudut tempat yang masih suci dari jamahan manusia ini. Tiba-tiba pandanganku tersita oleh gadis yang kemarin aku temui di pemakaman kemarin.

Perlahan tapi pasti ku langkahkan kakiku menuju tempat gadis itu berpijak.
“Hai,” sapaku mencoba memulai pembicaraan.
“Oh, hai juga,” nampaknya dia cukup terkejut akan kehadiranku.
“Ngapain sih menyepi di sini?”
“Nggak kok, cuman ngilangin suntuk aja,”
“Sama dong,” dia menoleh dengan tiba-tiba sembari menatap tajam mataku.
Ya Tuhan, tatapan itu... Aku seolah mengenal tatapan sepasang mata berwarna hazel. Tatapan itu seperti milik... Rana. Rana?! Benarkah dia Rana?
“Hei...” ucapnya sembari menjentikkan jemarinya, akupun kembali berada dalam alam sadarku.
“Sorry,” ucapku sambil memamerkan deretan gigiku.
“Noprob, btw kok gue ngerasa deket sama elo ya? Padahal biasanya kalo gue dideketin cowok gue jadi rada canggung.” ungkapnya, jujur.
“Mungkin karena gue ganteng kali,” jawabku seenaknya.
“Yee, Ge-eR!” semburnya yang membuat aku terkekeh pelan.
“Oh ya, nama elo siapa sih?!”
“Nama gue Kirana, lo bisa panggil gue Ra... eh, lo bisa panggil gue Kira, kalo elo?”
“Gue Jonathan, panggil aja si ganteng.”
“Ganteng?! Gangguan tenggorokan maksud elo?” ucapnya seakan nggak terima nama panggilan buat gue.
“Eh, enggak ya, gue kan emang mahkluk Tuhan yang paling ganteng,” balasku sambil menjulurkan lidahku ke arahnya.
“Ih, rese banget sih elo. Pengen deh gue cubit pake tang boleh?”
“Nggak boleh dong, ntar ganteng gue berkurang dan fans gue kabur lagi, oh noo!” ucapku agak lebay, dia ketawa. Cara ketawa itu... Ya Tuhan, mengapa makin kesini dia makin mirip Ranaku?
“Eh, eh, gue panggil elo Jona aja ya?”
“Kenapa nggak Nathan aja sih? Jona itu panggilan kecil gue tau!” ucapku dengan memajukan bibirku, yaps, lebih tepatnya dibilang manyun.
“Wait, lo bilang panggilan kecil lo Jona?!” aku cuma ngangguk untuk menjawab.
“Ya ampun, jadi bener lo Jona? Temen gue pas kecil? Haha, dunia ini sempit banget ya,”apa yang dia bilang? Dia bilang aku teman dia waktu kecil. Jangan-jangan... Sedetik kemudian ku dekap tubuhnya.
“Eh Jo, lo masih inget papi kan?”
“Pasti lah, emang lo kira gue pikun kayak elo. Elo masih kecil aja udah pikun,” sanggahku tak mau kalah
“Huuu, nggak usah ngebuka aib kali. Ke rumah yuuk, pasti papa kangen banget sama elo.”
“Ayo, siapa takut,” aku dan Rana beriringan menuju tempat aku memarkirkan mobilku. Ku bukakan pintu samping mobilku. Dia memasuki mobilku sembari tersenyum. Setelah memastikan dia mendapat posisi nyaman, aku berjalan memutari bagian depan mobil dan masuk ke kursi kemudi. Ku pacu mobilku setelah aku memakai sabuk pengaman. Di sepanjang perjalanan, aku terus bercanda dengan Rana.

Tanpa terasa mobil yang aku kemudikan telah sampai di depan rumah Rana. Akupun turun dan membukakan pintu mobilku untuk Rana. Kehadiran Rana disambut oleh raut cemas dari Om Frans, ayah Rana.
“Kira, kamu kemana saja? Papa khawatir sama kamu, Nak?”
“Tadi Kira ketemu Jona, Pa. Papa masih inget Jona nggak?”
“Jona? Jona siapa?” nampak kebingungan muncul dari raut wajah lelaki paruh baya itu.
“Ya ampun, ituloh Jona anaknya tante Vika. Masak papa lupa sih?” wajah kebingungan itu sirna beberapa detik kemudian. Dengan ramah om Frans menarikku dalam pelukannya, tak lama kemudian dia melepas pelukan itu.
“Jona, ini beneran kamu, Nak? Kamu udah gede ya? Gimana kabar kamu?”
“Baik, Om” jawabku singkat sembari menarik kedua sudut bibirku.
“Mari masuk, Nak” aku, Rana, dan Om Frans berjalan beriringan menuju ke dalam rumah yang besar dan nampak rapi itu.

Tanpa terasa, waktu bergulir begitu cepat. Aku pun pamit untuk segera pulang. Sesaat setelah pintu rumah Rana ditutup dan aku berjalan menuju mobilku, aku mendengar teriakan Om Frans. Ya Tuhan, apalagi yang terjadi?
“Jona, tolong bantu om. Kirana pingsan, Nak.” aku segera berbalik mendengar ucapan Om Frans, aku berlari menuju rumah Kirana. Di sana aku melihat Rana pingsan dengan cairan merah pekat mengalir dari lubang hidungnya, segera aku bopong Rana dan aku bawa masuk ke dalam mobilku dan kupacu mobilku di atas rata-rata melewati jalanan. Persetan dengan polisi yang nanti akan menghentikan mobilku karena aku telah melanggar peraturan.

Cemas. Satu kata itulah yang menggambarkan apa yang aku dan-mungkin- Om Frans rasakan. Koridor putih panjang inilah yang menjadi saksi bisu atas perasaanku saat ini. Tuhan, beri Rana kesempatan untuk menatap cerahnya matahari esok hari. Kirana, bangun Na, bangun. Mentari esok masih menunggumu, Na.

Jantungku serasa berdetak lebih kencang saat dokter yang menangani Kirana keluar dari ruang IGD. Raut wajah itu begitu sayu, membuatku menjadi gundah. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Kirana? Apakah ada sesuatu yang serius dengan dia?
“Dok, bagaimana keadaan anak saya?” entah mengapa gelengan pelan dari dokter itu membuat Om Frans terduduk di bangku ruang tunggu. Sebenarnya apa yang terjadi pada dia?
“Maaf, kita dapat membicarakan ini di ruangan saya. Mari ikut saya. Oh iya, saudara Jonathan, anda diminta masuk oleh Kirana untuk menemaninya di dalam.” Om Franspun megikuti dokter itu menuju ruangannya. Sedangkan aku? Ku langkahkan kakiku memasuki ruang rawat Kirana. Aku mendudukkan diriku di kursi sebelah ranjang Rana. Ku genggang jemarinya.
“Hei Na, gimana kabar elo? Bangun dong, katanya elo mau gue temenin? Gue udah dateng, Na. Please bangun dari tidur elo,” ku kecup pelan jemari Rana. Perlahan, ku rasakan jemari Rana bergerak sedikit demi sedikit. Ku tatap wajahnya, berharap mata hazel itu kembali terbuka. Dan benar saja, mata hazel itu sedikit demi sedikit mulai terbuka.
“Jo... baw... wa... ak...ku... ke... tam... man... Jo...” ucapnya yang terhalang oleh selang oksigennya.
“Tapi Na...”
“Please... Jo...”
“Baiklah, tapi gue izin dokter dulu ya,” dengan berat hati aku melangkah menuju ruangan dokter. Aku berharap semoga dokter tidak mengizinkan permitaan gila Rana.

Ku ketuk pintu ruangan dokter,
“Permisi dok, Rana meminta untuk di ajak  jalan-jalan ke taman. Apakah Rana sudah di izinkan meninggalkan ruangannya?”
“Ya, Rana memang perlu udara segar. Kamu dapat meminta suster untuk menyiapkan kursi roda untuk Rana.”
“Makasih dok, saya permisi dulu.” aku meninggalkan ruangan dokter sambil setengah merutuki keputusan dokter itu.
Setelah semuanya siap, ku dorong kursi roda Rana menuju taman di depan rumah sakit. Ku dudukan dia di bangku taman.
“Jo, kal... lo... mis... sal... nya... ak... ku... per...gi... ak... ku.. min... ta... kam... mu... jag... ga... pap... pa... ak... ku... ya...” batinku seakan tersayat mendengar ucapan yang keluar dari bibirnya.
“Ngomong apa sih kamu? Kamu pasti sembuh kok”
 “Pel... luk... ak... ku... Jo...” aku ragu untuk memeluknya, ku rasa kondisinya tidak memungkinkan untuk ku dekap dirinya.
“Pel... luk... ak... ku... Jo...” pintanya, sekali lagi. Dengan ragu aku memeluknya, ku rasakan tangannya melingkar di punggungku. Dia membalas pelukanku.
“Ak... ku... say... yang... kam... mu... Jo...”
“Aku juga sayang kamu, Na”
“Sel... lam... mat... ting... nggal... Jo...” perlahan, ku rasakan pelukannya terlepas. Ku urai pelukanku. Yang terlihat kini tubuh lemas pucat pasinya. Air mataku menetes menatap tubuh itu.

Kini, aku yang sudah berbalut busana serba hitam tiba di makam orang yang ku sayang lainnya. Aku terduduk lemah di samping nisan itu. Ku rasa ada yang menepuk pundakku.
“Sudahlah nak Jo, ini semua sudah takdir,” aku menoleh, ternyata yang  menepuk pundakku adalah om Frans.
“Iya, Om” ucapku sambil terus menatap lekat nisan itu.
“Ini sudah takdir, Nak. Sudah takdir kalau Kirana harus meninggal karena penyakit yang sama dengan yang di derita oleh mamanya dan mama kamu. Kamu tau apa alasan Kirana kembali ke sini? Alasannya adalah dia pernah bermimpi bahwa dia akan meyusul mamanya setelah bertemu kamu. Dan sekarang mimpi itu telah menjadi sebuah kenyataan.”
“Apa? Kirana menderita kanker darah?”
“Ya, dan kanker itu telah menggerogoti hampir 70% dari seluruh bagian tubuhnya. Selain itu, cairan chemo juga telah menggerogoti tiap helai dari rambutnya hingga dia memutuskan untuk memakai jilbab.  Baiklah nak, Om rasa Om harus pulang dulu. Sampai bertemu kembali ya,” ucapan demi ucapan om Frans begitu menohok relung hatiku. Mengapa semua yang ku sayang harus di renggut penyakit itu? Mengapa, Tuhan? Apa salah mereka? Mengapa semua yang ku sayang pergi meninggalkanku? Dulu oma, kemudian mama, dan sekarang Rana. Mengapa harus mereka yang ku sayang? Mengapa bukan aku saja, Tuhan?